FOTO: Rochmat Darussalam, S.Pd saat mengajar Oleh: Rochmat Darussalam, S.Pd Pada umumnya, semua orang mengganggap kalau bentuk komunikasi s
FOTO: Rochmat Darussalam, S.Pd saat mengajar
Oleh: Rochmat Darussalam, S.Pd
Pada umumnya, semua orang mengganggap kalau bentuk komunikasi secara langsung adalah dengan bicara. Sering saya temui beberapa orang yang menganggap kalau anak tunarungu atau tuli harusnya bisa berbicara, tidak perlu menggunakan isyarat. Namun, ada banyak hal yang sebenarnya tidak mereka ketahui, atau mungkin tidak terpikirkan oleh mereka.
Komunikasi secara umum ada 2 macam, verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal adalah metode berkomunikasi secara lisan menggunakan kata-kata atau Bahasa. Sedangkan komunikasi non verbal adalah metode komunikasi dengan menggunakan gerakan, seperti menunjuk atau menunjukkan jempol sebagai isyarat setuju.
Pada anak tunarungu, biasanya menggunakan komunikasi non verbal atau bahasa isyarat. Kenapa?
Walaupun mengalami hambatan pada pendengaran, bukan berarti kemampuan oral mereka juga tidak mengalami hambatan. Pada dasarnya, karna kesulitan menerima informasi melalui suara, anak tunarungu kebanyakan tidak mampu menterjemahkan arti atau makna kata yang mereka dengar. Karna tidak mampu memahami maknanya, maka anak juga akan kesulitan untuk membahsakan kata tersebut.
Sederhananya, seperti manusia mendengar kucing mengeong, atau singa mengaum. Kita mampu mendengar suara yang mereka keluarkan, namun tidak mampu mengulanginya karena tidak mengerti maknanya.
Mengapa tidak dilatih, diajari, dan dibiasakan saja?
Tentu saja anak-anak tunarungu di sekolah juga dilatih kemampuan oralnya oleh guru. Dilatih untuk merasakan sumber bunyi, dan lain sebagainya. Metode yang sering digunakan biasanya adalah metode MMR. Menurut Zulmietri (2017: 63) metode MMR adalah salah satu teknik pengajaran yang mengutamakan percakapan dalam proses kegiatan belajar mengajar serta ditunjang oleh metode tangkap dan peran ganda dari guru.
Namun, selain mengajar dengan mengoptimalkan kemampuan peserta didik. Guru juga harus mempertimbangkan hambatan apa yang dialami oleh mereka. Apakah peserta didik merasa sakit saat mengeluarkan suara, seberapa nyaring suara yang mampu mereka keluarkan tanpa merasa sakit, dan seberapa banyak sisa pendengaran peserta didik sehingga dianggap masih mampu untuk dioptimalkan kemampuan oralnya.
Jika memang pada saat proses asesmen peserta didik dirasa kesulitan ataupun kesakitan saat harus belajar mengoptimalkan kemampuan oral atau bicaranya. Maka menggunakan Bahasa isyarat tentunya menjadi pilihan yang tepat untuk digunakan sebagai metode untuk berkomunikasi sehari-hari. Karna sejatinya, berkomunikasi bukan berarti harus bicara dan mengeluarkan suara. Namun bagaimana kita mampu menyampaikan pesan kepada seseorang yang harus menerimanya.(*)
COMMENTS