Penetapan Tersangka Bagi Petani Sawit, Aliansi Masyarakat Dayak Siapkan Aksi di Kantor Pengadilan Lamandau

Penetapan Tersangka Bagi Petani Sawit, Aliansi Masyarakat Dayak Siapkan Aksi di Kantor Pengadilan Lamandau

PALANGKA RAYA - Gubernur Kalteng, H.Sugianto Sabran pada Oktober 2023 lalu, pernah menyampaikan bahwa pihaknya telah bermohon kepada Presiden RI,

Pejabatnya Terkonfirmasi Positif Korona, Kantor KPU dan Inspektorat Bartim Akan Disterilisasi
Mayoritas Fraksi DPRD Palangka Raya Setuju RAPBD 2020
Pelaksanaan Pilkades Serentak Berjalan Aman, Marwan : Kami Sangat Apresiasi Kinerja Semua Kalangan

ILUSTRASI/NET

PALANGKA RAYA – Gubernur Kalteng, H.Sugianto Sabran pada Oktober 2023 lalu, pernah menyampaikan bahwa pihaknya telah bermohon kepada Presiden RI, Joko Widodo agar mengevaluasi dan tidak memperpanjang Izin HGU bagi PBS maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang tidak merealisasikan kebijakan plasma 20 persen.

 

Permintaan Gubernur Kalteng ini bukan tanpa alasan, lantaran sebagai upaya menghindari konflik antara PBS maupun HTI dengan masyarakat lokal. Konflik ini jika terjadi, dikhawatirkan akan mengganggu kondusifitas di masyarakat sendiri.

 

Terkait dugaan konflik antara HTI dan masyarakat, kini terjadi penetapan tersangka dengan ancaman jeratan pidana terhadap tiga warga petani sawit mandiri di Kabupaten Lamandau, Kalteng yang menuai perhatian sejumlah pihak. Salahsatunya, dari Aliansi Masyarakat Dayak Bersatu Bela Petani Rakyat yang akan menggelar aksi damai depan Kantor Pengadilan Negeri Lamandau.

 

Rencana aksi ini disampaikan langsung oleh Wendi S.Loentan selalu koordinator aksi masa yang akan berlangsung pada Selasa (9/1/2023). Dalam aksi ini, dikatakannya akan melibatkan massa sekitar 500 sampai 1000 orang yang akan menyampaikan tuntutan terkait penetapan tersangka terhadap petani sawit di Lamandau.

 

“Aksi ini bentuk kepedulian kami terhadap para petani sawit mandiri yang kami rasa telah menjadi korban kriminalisasi, hingga dihadapkan pada ancaman pidana” jelas Wendi yang juga tokoh pemuda Dayak Kalteng ini, Senin (8/1/2014).

 

Dikatakannya, dalam aksi tersebut pihaknya juga akan menyampaikan surat terbuka. Isinya yakni, mulai dari bagaimana proses hukum bergulir yang dinilai tidak sesuai prosedur, hingga dugaan adanya pihak yang sengaja ingin mempidana para tersangka karena masalah lahan yang dijadikan perkebunan sawit mandiri oleh para petani tersebut.

 

“Kami menduga ada pihak yang sengaja memfasilitasi warga yang melapor bahwa para tersangka menggarap lahan kawasan hutan. Pihak tersebut yakni yang mengklaim sebagai salah satu perusahaan HTI yang selama ini justru tidak diketahui oleh masyarakat” sebut Wendi.

 

Ia juga menambahkan, lahan yang dijadikan perkebunan sawit oleh petani sendir, berasal dari lahan garapan atau ladang masyarakat yang kemudian dibeli oleh para tersangka, dan sebagian lagi dijadikan dalam bentuk kemitraan bagi hasil. Sehingga, masyarakat maupun petani yang kini jadi tersangka tidak mengetahui adanya lahan milik salah satu HTI ataupun kawasan tersebut masuk dalam kawasan hutan.

 

“Ketidaktahuan ini, karena memang dari pihak perusahaan HTI sendiri tidak pernah mensosialisasikan keberadaannya. Termasuk dari pemerintah sendiri tidak memberikan sosialisasi bahwa kawasan tersebut adalah kawasan hutan. Sekarang justru petani dianggap sebagai penjahat dengan ancaman jeratan pidana. Padahal, tidak ada kerugian negara yang mereka timbulkan” tegas Wendi.

 

Lebih lanjut ia menambahkan, pada dasarnya keberadaan perkebunan kelapa sawit tersebut justru mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat.

 

Wendi juga menambahkan, pihak masyarakat juga akan meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi atas izin konsensi milik perusahaan HTI tersebut. Sehingga, dapat mengeluarkan areal lahan garapan masyarakat dari ploting area konsensi milik salah satu perusahaan HTI tersebut.

 

“Hal ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat pemilik tanah. Termasuk untuk mencegah upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang secara umum melakukan kegiatan yang saat ini di klaim sebagai kawasan hutan atau kawasan dari perusahaan HTI” tegasnya.

 

Diberitakan sebelumnya, kasus ini berawal dari sejumlah orang yang melaporkan adanya penggarapan kawasan hutan sebagai areal perkebunan kelapa sawit yg di infokan berlokasi di Desa Penopa, Kabupaten Lamandau, padahal lokasi perkebunan rakyat tersebut berada di wilayah Desa Semantun, Kabupaten Sukamara. Laporan beberapa orang warga yang disampaikan ke Mabes Polri, kemudian ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian.

 

Penetapan tersangka dengan ancaman jeratan pidana bagi para petani sawit mandiri ini juga menjadi perhatian serius para aktivis lingkungan hidup yang ada di Kalteng.

 

Seperti diungkapkan Direktur Save Our Borneo, Habibi. Ia mengatakan, jika proses hukum terhadap ketiga warga petani mandiri perkebunan kelapa sawit tersebut berlanjut, tentu akan menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, masyarakat atau petani mandiri kelapa sawit di Kalteng kebanyakan menggarap lahan kawasan hutan.

 

“Ini tentu berbanding terbalik dengan penerapan terhadap perusahaan yang juga bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Kenapa petani bisa dipidana sedangkan perusahaan yang juga menggarap kawasan hutan seakan tidak tersentuh sanksi pidana di Kalteng. Ini adalah bentuk diskriminasi penegakan hukum” sebut Habibi, Sabtu (30/12/2023).

 

Hal senada juga disampaikan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho. Penanganan terhadap petani kelapa sawit mandiri yang dijerat dengan sanksi pidana menurutnya bentuk dari “Tajam Kebawah Tumpul ke Investasi”. (bud)

COMMENTS

WORDPRESS: 0
DISQUS: 0
error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: